Sunday, 28 Dec 2025

Bro Rivai Cermati Sustainability dan Transisi Energi dalam Perspektif Pertahanan Negara

7 minutes reading
25 Nov 2024

Pada kesempatan sosialisasi kedua Calon Waketum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) 2024-2027 yang bertema “Peran dan Kontribusi PII dalam Sustainability dan Energi Transisi dalam mendukung Ketahahan Energi, Senin (26/11), Laksda TNI Abdul Rivai Ras yang akrab disapa Bro Rivai mencermati isu tersebut yang berbeda dengan calon Waketum lainnya, dengan melihatnya dari sudut pandang pertahanan negara.

Menurutnya, sustainability dan transisi energi menekankan bukan hanya pada arti penting perlunya keamanan dan kepastian ketersediaan energi, tetapi juga arti penting energi bagi pertahanan suatu negara.

Ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam mendukung sektor pertahanan dalam konteks operasi militer telah menjadi isu strategis bagi banyak negara, termasuk Indonesia dalam mencari bahan bakar alternatif atau Energi baru dan Terbarukan (EBT). Dalam dunia yang semakin digerogoti krisis energi dan isu lingkungan, kebutuhan untuk mencari solusi berkelanjutan kian mendesak.

Karena itu, swasembada dalam produksi bahan bakar militer alternatif atau EBT bukan hanya soal kemandirian energi, tetapi juga bagian dari strategi pertahanan negara.

Saat ini Indonesia hanya memiliki cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) operasional untuk 21 hari. Hal ini cukup mengkhawatirkan apabila negara ini terjadi “perang” dengan negara lain.

Di masa lalu, Indonesia sempat mencapai masa keemasan ketika menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dengan produksi 1,6 juta barel. Pada 1996-1997, 40-50 persen pendapatan negara berasal dari minyak.

Namun saat ini kondisinya berbeda, produksi minyak RI hanya tersisa sekitar 600 ribu barel per hari. Sementara konsumsi minyak dalam negeri tercatat mencapai 1,6 juta barel.

“Di masa keemasan kita, pernah nggak kita bangun refinery minyak yang memadai?. Bahkan storage penyimpanan minyak kita, itu cuma kapasitasnya 21 hari. Jadi kalau Indonesia ini perang, kita tidak dapat minyak 21 hari, kita pasti akan dihadapkan pada masalah beşar dalam keberlangsungan bangsa .” Ungkap Laksda Rivai Ras.

Lanjut Rivai, menyoroti keamanan/ketahanan energi nasional dalam konteks pertahanan, swasembada bahan bakar alternatif untuk meningkatkan keamanan energi mutlak menjadi perhatian serius bagi entitas PII.

“Pada situasi perang atau krisis geopolitik, ketergantungan pada minyak impor bisa menjadi kelemahan strategis. Dengan mengembangkan bahan bakar alternatif sendiri, militer Indonesia tidak hanya memperkuat pertahanan energi, tetapi juga meminimalkan risiko gangguan rantai pasok global,” tegasnya.

Saat ini, rata-rata cadangan minyak mentah Indonesia hanya cukup untuk kebutuhan domestik 14 – 21 hari. Adapun cadangan BBM hanya cukup untuk 22 hari, elpiji untuk 17 hari. Intinya, ketahanan energi kita tergolong lemah, karena cadangan BBM itu bila dipakai perang, hanya cukup untuk tiga hari.

Disinilah makna dari sustainability tidak hanya dalam konteks kepentingan keberlanjutan planet sesuai nilai universal dan faktor kebijakan global terkait Sustainable Development Goals (SDGs), tetapi lebih pada persoalan keberlanjutan mati hidupnya suatu bangsa dan kepentingan nasional.

Sebagai ilustrasi dan perbandingan, cadangan BBM Singapura cukup untuk kebutuhan domestik 90 hari, sama dengan Cina yang juga menumpuk cadangan BBM untuk 90 hari. Sementara, Amerika Serikat yang belajar dari pengalaman pahit diembargo minyak oleh OPEC pada 1973-1974, memiliki cadangan BBM hingga 260 hari.

Karena itu, pemerintah harus dapat meningkatkan kapasitas cadangan minyak dan membeli tambahan komoditas minyak dan tangki sebagai sarana penyimpanannya, namun masalahnya, upaya peningkatan kapasitas cadangan butuh dana tidak sedikit yang harus dianggarkan.

Kedepan, Indonesia harus mengikuti standar dunia, dengan cadangan ideal BBM nasional adalah 90 hari, setidaknya harus berada di atas Singapura yang kini memiliki cadangan BBM nasionalnya mencapai 60 hari.

Mengatasi peroalan ini juga, PII harus ikut andil dalam mendorong kebijakan tentang Cadangan Penyangga Energi (CPE) nasional. Adapun cadangan penyangga energi yang dimaksud adalah diperlukannya untuk mengatasi kondisi krisis dan darurat energi.

Menurut, Bro Rivai yang salah satu calon Waketum PII 2024-2027, cadangan penyangga energi tersebut diperuntukkan bagi minyak mentah, LPG, dan bensin untuk selama periode 30 hari. Sebab tiga komoditas tersebut selama ini masih diimpor.

“Saatnya cadangan penyangga energi ini dibutuhkan di Tanah Air lantaran ketidakpastian kondisi geopolitik yang seperti saat ini terjadi di wilayah timur tengah dan dinamika perang Rusia-Ukraina. Untuk, itu Indonesia butuh cadangan penyangga energi guna mengamankan ketahanan energi dalam negeri,” tambahnya.

Jadi, Indonesia bukan hanya sekedar transisi energi, yang perlu dilakukan adalah upaya diversifikasi energi – all sources of energy is available in Indonesia. Diversifikasi sumber energi misalnya di bidang pertahanan, yakni mengembangkan teknologi bahan bakar alternatif/EBT, seperti biodiesel berbasis kelapa sawit, bioetanol, dan hidrogen.

Indonesia, dengan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar dalam mengembangkan bahan bakar berbasis biomassa. Misalnya, penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel sudah membuktikan keberhasilannya di sektor sipil, sehingga bisa dikembamgkan pada implementasi dalam menggerakkan Alutsista TNI seperti kapal perang (KRI), pesawat tempur, tank/amfibi dan kendaraan taktis militer lainnya.

“Jika strategi ini diperluas ke sektor pertahanan militer, kemandirian energi dapat tercapai, mengurangi ketergantungan pada impor minyak mentah, sekaligus menjadi wujud dari strategi pertahanan negara dan keberlanjutan kepentingan kedaulatan nasional. Itulah esensi keberlanjutan yang sesungguhnya!, selain urusan pemanfaatan EBT dan hilirisasi industri.” jelas Rivai dengan penuh heroisme.

Studi kasus menarik terkait dengan penerapan bahan bakar militer alternatif  atau EBT, mencakup inovasi teknologi seperti bahan bakar sintetis yang dikembangkan dari limbah industri. Beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, telah menggunakan bahan bakar jet sintetis berbasis Fischer-Tropsch untuk pesawat tempur yang dimiliki.

Studi ini memberikan contoh bahwa bahan bakar dari sumber non-konvensional bukan sekadar mimpi. Indonesia dapat mencontoh pendekatan ini dengan memanfaatkan limbah perkebunan atau sisa-sisa hasil panen.

Di sisi lain, masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan diantaranya adalah dari sisi regulasi, investasi sampai dengan teknologi. Untuk itu PII harus ikut mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan – EBT.

Kontribusi penting dalam sektor pertahanan, PII juga bisa membantu Kementerian Pertahahan dan TNI untuk mengembangkan riset dan inovasi dalam mengembangkan bahan bakar militer alternatif dan tentu bisa belajar dari best practices dari negara lain.

Amerika Serikat dan Cina adalah contoh negara yang serius dalam mengembangkan bahan bakar militer alternatif/EBT. Amerika Serikat, melalui Pentagon, telah menginvestasikan miliaran dolar dalam riset bahan bakar sintetis dan biofuel untuk kapal perang serta pesawat tempur. Bahkan berhasil menjalankan uji coba armada kapal perang dengan bahan bakar campuran biofuel, menunjukkan potensi besar dalam transisi energi di sektor militer.

Sejauh ini TNI masih belum menggunakan energi alternatif – EBT atau mengimplementasikan B20 untuk alat utama sistem senjata (alutsista). Padahal penggunaan solar untuk TNI saja sudah mencapai 627.000 kiloliter (KL) per tahun.

Oleh karena itu, peran dan kontribusi PII pada tingkat strategis diharapkan dapat memberi rekomendasi kepada pemerintah berupa, pertama; Indonesia dapat meningkatkan riset dan inovasi. Setidaknya, pemerintah harus meningkatkan alokasi anggaran untuk riset bahan bakar alternatif, khususnya yang berpotensi diterapkan dalam sektor pertahanan militer.

Kedua, kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan industri energi menjadi kunci. Program seperti pengembangan biofuel yang memiliki produktivitas tinggi yang dapat menjadi solusi jangka panjang.

Ketiga, mendorong “kebijakan isentif”, misalnya insentif fiskal seperti pemotongan pajak atau subsidi untuk perusahaan yang mengembangkan bahan bakar alternatif dapat mendorong pertumbuhan industri ini. Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon sebagaimana tertuang dalam Paris Agreement.

Keempat, pembangunan infrastruktur energi terbarukan. Produksi bahan bakar seperti hidrogen hijau membutuhkan akses ke energi terbarukan. Karena itu, investasi dalam pembangkit listrik tenaga surya atau angin harus menjadi prioritas. Hal ini tidak hanya mendukung bahan bakar militer alternatif, tetapi juga mendorong transformasi energi nasional secara keseluruhan.

Kelima, mengintegrasikan rantai pasok. Kunci keberhasilan swasembada bahan bakar alternatif adalah integrasi antara sektor energi, pertanian, dan teknologi. Pemerintah dapat membangun kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berfokus pada pengolahan bahan bakar militer alternatif -EBT, seperti biodiesel dari kelapa sawit di Sumatera atau Kalimantan.

Sementara dalam tataran teknis operasional, Rivai yang juga sebagai Ketua bidang Pertahanan dan Industri Strategis Pengurus Pusat PII 2021-2024 menyampaikan beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: membentuk komite tematik seperti Tim Konsultasi Energi PII yang bekerja sama dengan pemerintah dan akademisi untuk menyusun kebijakan dan sekaligus membuat white paper tahunan tentang transisi energi di Indonesia.

“Langkah Operasionalnya adalah Komite PII untuk Transisi Energi dapat berkoordinasi lintas sektor antara pemerintah, insinyur, dan masyarakat dan membuat Roadmap Energi PII 2024-2030 yang fokus pada pengurangan emisi karbon menuju net zero emission 2060 melalui riset, inovasi dan rekayasa teknologi unggulan. Termasuk membuat program pendidikan dan latihan yang bersertifikasi untuk meningkatkan indeks human capital atau human resources development related engineers yang paham soal renewables, energy security, safety dan climate protection.” Tutupnya.

1 Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ir R. Gatot Nursinggih Harjanto, MP, IPU 1 year ago

Utk tranportasi energi listrik yg ramah lingkungan, utk memasak wood pellet, hidrogen sumber yg tidak pernah habis. Dengan menata diklus air

Reply